Memahami Seluk Beluk Pencatatan Perkawinan Di Indonesia ,- Siapapun yang menjalin sebuah hubungan, tentu ingin berakhir dalam sebuah perkawinan. Sebab hanya dengan perkawinanlah, hubungan asmara tidak hanya ikatan lahir dan batin saja, melainkan memiliki tujuan yang jelas. Yakni membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebuah tujuan yang begitu mulia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Makin lengkap, bila perkawinan yang memiliki tujuan begitu mulia dicatatkan pada pencatan perkawinan yang tepat. Jaminan akan keberadaan pernikahan akan semakin memenuhi asas kepastian hukum sekaligus menciptakan ketertiban hukum pula. Untuk itu, kamu yang hendak melangsungkat perkawinan, ada sejumlah hal yang wajib kamu tahu pendaftaran pernikahan di Indonesia.
Pencatatan Perkawinan di Indonesia
Melakukan pencatatan perkawinan sama artinya dengan memaksa negara hadir dalam lingkup privat. Perkawinan yang awalnya hanya sekadar urusan pribadi, kini juga menjadi persoalan negara. Dengan beginilah, jaminan kepastian hukum semakin terlihat nyata keberadaanya.
Ada banyak hal yang harus kamu tahu soal pencatatan perkawinan, tak hanya cara mndaftarkan perkawinan saja, tetapi juga:
1. Apa Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan?
Ketentuan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 jelas mengatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana segala ketentuan harus berdasarkan hukum. Tak terkecuali juga dengan pencatatan perkawinan.
Kita bisa menemukan berbagai sumber hukum yang mengatur pencatatan perkawinan di:
-
Pasal 2 Ayat (2) UU. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-
Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk
-
Pasal 2 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Landasan hukum pencatatan perkawinan di atas, semakin memperjelas bahwa perkawinan tidak hanya sah bila dicatatkan pada lembaga pencatatan perkawinan. Tetapi juga menjadi dasar yang kuat jaminan perlindungan yang diberikan oleh negara.
2. Benarkah Perkawinan Sah Bila Dicatatkan?
Kapankah perkawinan itu sah? Jawabanya beragam. Jika dilihat dari hukum agama, perkawinan sah bila memenuhi syarat dan rukun nikah. Dalam Islam, pernikahan telah sah bila segala rukun seperti ada calon suami dan istri, ada saksi, ada wali dan ijab kobul, maka perkawinan telah sah.
Tetapi menurut negara berbeda, perkawinan baru sah bila dicatatkan. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) UU. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sah bila dilakukan menurut kepercayaan dan dicatatkan. Sehingga Perkawinan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana dimana peristiwa perkawinan dilangsungkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
3. Kemana Harus Mendaftarkan Perkawinan?
Jika mencermati ketentuan yang ada di Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, terlihat bahwa tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan ini memang tidak menentukan sah tidaknya perkawinan, tetapi sebagaimana yang diungkapkan oleh K. Wantjik Saleh (1976:16) dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, pencatatan perkawinan itu sebagai bukti bahwa perkawinan memang ada dan terjadi, jadi hanya bersifat administrasi saja.
Lalu dimana kita bisa melakukan pencatatan perkawinan?
Sesuai dengan ketentuan di Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975, pencatatan perkawinan bisa dilakukan di dua tempat:
-
Bagi mereka yang beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat di Kantor Urusan Agama (KUA)
-
Bagi mereka yang bukan beragama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat di Kantor Catatan Sipil.
Dengan kata lain bagi yang beragama Islam, pencatatan perkawainan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sementara bagi non islam, seperti Hindu, Budha, Katholik, Kristen, pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil.
4. Apa Manfaat Melakukan Pencatatan Perkawinan?
Sesuai dengan teori hukum, bahwa setiap hukum yang ditetapkan harus mengandung nilai kemanfaatan. Begitu juga dengan pencatatan perkawinan, memiliki sejumlah manfaat, seperti:
-
Mendapat perlindungan hukum. Kita tidak mungkin melaporkan adanya KDRT tanpa punya akta otentik pernikahan.
-
Mempermudah Urusan Hukum lainya. Bayangkan saja ketika anda ingin urus asuransi kesehatan atau ibadah haji, pasti butuh akta pernikahan.
-
Agar ada kepastian hukum kuat bagi yang berkepentingan dan lain sebagainya.
5. Apa Akibat Bila Perkawinan Tidak Dicatatkan?
Tidak mungkin ada hukum tanpa akibat. Jika kita tidak melakukan pencatatan perkawinan, ada sejumlah akibat hukum yang akan kita terima:
-
Perkawinan Dianggap tidak Sah. Menurut agama dan kepercayaan, perkawinan yang tidak dicatatkan memang bisa saja sah. Tetapi di mata negara, pernikahan anda tidak sah.
-
Anak Hanya Punya Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Sesuai dengan Pasal 42 dan 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak-anak yang lahir di luar pernikahan atau dari pernikahan yang tidak dicatatkan, hanya akan memiliki hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
-
Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan. Perkawinan yang tidak dicatat, mengakibatkan anak dan ibu tidak berhak atas nafkah dan juga waris dari suami.
Lalu bagaimana dengan Syarat dan Prosedur Pencatatan Perkawinan? Untuk mengetahui syarat dan prosedur perkawinan secara lengkap, kita bisa lihat di berbagai peraturan daerah masing-masing. Misalnya di jakarta, kita bisa lihat pada Pergub No. 93 Tahun 2012.
Referensi:
-
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-
Undang-Undang No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk
-
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
-
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
-
K. Wantjik Saleh. 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Yudhistira, Jakarta Timur.